Kamis, 26 November 2009

Melihat Budaya Membaca Masyarakat Indonesia

Membaca salah satu tajuk di situs Antara News , yang memberitakan bahwa Budaya membaca masyarakat Indonesia terendah di antara 52 negara di kawasan Asia Timur berdasarkan data yang dilansir Organisasi Pengembangan Kerja Sama Ekonomi (OECD), nampaknya mengharuskan pemerintah untuk bekerja ekstra keras guna menumbuhkan minat baca di kalangan masyarakat Indonesia.

Beruntung sekali pemerintah Surabaya langsung menyikapi hal ini dengan mengembangkan program-program yang berguna untuk menumbuhkan minat baca masyarakat. Diantaranya adalah program pembinaan perpustakaan yang ada dengan pengadaan 157.095 buku setiap tahunnya serta program pengembangan "Sudut Baca" di berbagai kawasan publik seperti puskesmas, balai kelurahan, perkantoran, perusahaan, dan pusat-pusat keramaian disamping program lainnya yang sudah berjalan seperti membuka perpustakaan selama tujuh hari dalam seminggu. Dan masyarakat pun akan dimanjakan dengan pelayanan peminjaman buku secara gratis. (Antara News)

Namun demikian apakah masyarakat Indonesia khususnya Surabaya berhasil menumbuhkan minat mereka untuk membaca?. Hal inilah yang perlu kita perhatikan. Sudah kita ketahui secara umum bahwa perkembangan teknologi informasi dan komunikasi terutama televisi dan radio yang begitu pesat telah menggeser tradisi baca dan tulis yang belum begitu mengakar kuat di Indonesia menjadi tradisi lihat dan dengar tampak lebih dominan. Sehingga bukan hal baru jika kita mendengar atau membaca bahwa budaya membaca masyarakat Indonesia masih rendah.

Untuk mengetahui apakah masyarakat Indonesia begitu menggemari kegiatan membaca, tentunya Anda bisa memperhatikan baik di jalan, di bus, di angkot, di terminal, di sekolah atau di kampus, apakah ada di tempat-tempat tersebut baik anak-anak, remaja, atau orang dewasa yang sedang asyik membaca buku atau koran ? tentu saja Anda bisa menyimpulkan sejauh mana tingkat budaya baca di Negara kita jika dibandingkan dengan Negara lain atau Jepang yang bisa Anda baca di sini.

Kita tentunya tidak bisa mempertahankan sugesti bahwa Jepang memang Negara maju dan sudah sewajarnya tingkat budaya baca mereka tinggi, sedangkan Indonesia tingkat melek hurufnya saja sudah rendah, bagaimana bisa kita meningkatkan budaya baca di negeri sendiri. Kita tentu saja tidak bisa begitu saja lepas dari tanggungjawab untuk menumbuhkan gairah membaca diantara kita. Sebagai generasi penyelamat bangsa tentu kita bisa belajar dari bangsa yang sudah maju bukannya berdalih memang sudah sewajarnya bangsa tersebut maju karena memang mereka Negara maju. Kalau kita terus berpikir seperti itu, bagaimana kita bisa membantu negara kita sendiri agar juga menjadi Negara yang maju?
Pastinya kita dituntut untuk turut serta memikirkan solusi bagaimana cara membangkitkan minat baca di kalangan masyarakat dan hal itu bisa kita lakukan dengan dimulai dari kita sendiri beserta keluarga mengajak untuk gemar membaca atau mengunjungi perpustakaan.

Betapa mirisnya hati ini ketika membaca ulasan artikel dari Bapak Marjohan salah seorang Guru SMA Negeri 3 di Batusangkar yang mengambarkan tentang realita minimnya minat baca di kalangan masyarakat terutama para pendidik, siswa maupun mahasiswa.

Di artikelnya yang diberi judul “Budaya Membaca dan Menulis Masih Minim Di Sekolah”, beliau menggambarkan bagaimana karakter anak didik sampai kepada karater mahasiswa di Perguruan Tinggi, yang mana mereka masih terperangkap ke dalam budaya lisan dan menjadikan budaya tulisan seakan-akan menjadi beban. Anak didik dan mahasiswa yang cenderung terperangkap dengan budaya lisan- dimana sepanjang hari aktivitas mereka hanya mengobrol, bercanda dan berdebat kusir- cendrung menjadi orang dengan fikiran dangkal dan mengambang (floating thinking), sementara mereka yang membiasakan diri dengan budaya tulisan tentu akan lahir menjadi manusia dengan pola berfikir kritis dan analitis.

Sebahagian kaum pendidik, yaitu guru- guru yang mengajar mulai dari Tk , SD, SMP, SLTA dan malah juga ada Dosen , sebahagian ada yang terjebak dan hanyut dalam budaya lisan. Budaya lisan- ngobrol dan berceloteh- terasa mudah dan budaya tulisan- membaca dan menulis- terasa melelahkan dan membosankan. Kalaupun ada kegiatan membaca dan menulis itu hanya sebatas melakukan tugas rutinitas yang dangkal sebagai seorang pendidik. Namun apabila mereka melakukan budaya tulis secara refleksi (renungan) dan menganalisa maka tentu mereka patut diberi dua acungan jempol.
Bila seluruh kaum pendidik bisa menyenangi kebiasaan membaca dan menulis maka tentu perpustakaan dan toko buku menjadi tempat yang amat menyenangkan dan mereka tentu akan pergi menuju tempat mendidik (sekolah) dengan tas yang penuh berisi buku- buku, dan jurnal pendidikan. Tidak seperti fenomena yang terlihat sekarang dimana sebahagian guru datang kesekolah membawa tas kecil seperti tas pergi ke pesta yang isinya cuma, sisir, lipstik dan dan cermin dan guru pria juga datang dengan gaya santai tersendiri pula.

Absennya budaya membaca dan menulis di kalangan kaum pendidik telah membuat mereka demam dengan budaya rekayasa, dan budaya yang hanya gemar mengejar manfaat sesaat. Sejak kebijakan sertifikasi diluncurkan oleh pemerintah dengan tujuan untuk memotivasi peningkatan kualitas pendidikan. Namun kaum pendidik termotivasi hanya untuk mengejar selembar tiket yang bernama ijazah dari perguruan tinggi. Usaha yang mereka lakukan, tentu saja bagi semua orang, adalah dengan cara ”mencontek atau mencari joki” agar bisa lulus ujian semester dan kemudian menyusun strategi baru untuk membeli atau memesan proposal, makalah, skripsi atau tesis setelah itu.

Sejak kebijakan sertifikasi diluncurkan maka terlihat respon guru- guru (kaum pendidik) cukup meningkat. Misal bila seminar digelar maka mereka datang dengan spontan , membayar, namun setelah itu ada yang senang hanya sekedar titip absen kemudian pergi atau hadir demi mengharap selembar sertifikat seminar. Ini adalah salah satu dampak buruk dari belum hadirnya budaya tulisan (membaca dan menulis) dalam dunia pendidikan.

Budaya membaca dan menulis juga belum menjadi bagian gaya hidup mahasiswa, apalagi bagi mahasiswa yang kuliah pada universitas pinggiran. Kualitas pendidikan mereka susah untuk diandalkan dalam kompetisi pada bursa tenaga kerja. Fenomena jauhnya budaya membaca dan menulis dari gaya hidup mahasiswa teridentifikasi dari gaya hidup dan perilaku mereka. Pergi kuliah dengan tubuh dibungkus penuh assesori, tangan cuma lebih senang menggenggam ponsel daripada membawa bacaan yang berkualitas. Kemudian duduk atau jalan- jalan di depan kampus dengan karakter ”ala anak SLTA” berdialog dengan ekspressi bahasa cengeng dan kemanja-manjaan. Jauh dari kesan gaya mahasiswa yang intelektual dengan gaya bahasa atau bicara penuh analitis dan kritis. (http://penulisbatusangakar.blogspot.com)
Tentunya dari gambaran pak Marjohan di atas sungguh sangat di sayangkan bukan jika generasi penerus bangsa menjadi orang yang lemah dan berpikiran dangkal hanya karena kurangnya minat membaca di dalam diri.

Mungkin apa yang di gambarkan oleh Pak Marjohan adalah realita yang pernah di amati oleh beliau selama ini. Meskipun budaya membaca masyarakat belum menyeluruh dan merata, namun sedikit kurangnya kita bisa optimis akan minat membaca di kalangan masyarakat sedikit demi sedikit akan mulai bangkit. Hal ini bisa kita buktikan dengan boomingnya novel “Ayat-Ayat Cinta” ataupun “Ketika Cinta Bertasbih” karya Habiburrahman El Shirazi yang menjadi best seller ataupun novelnya Adrian Hirata dengan judul “Laskar Pelangi” yang begitu menghebohkan sehingga di buatkan versi filmya dan setiap kalangan baik dari siswa, pendidik, atau masyarakat luas dianjurkan untuk melihatnya atau membaca novel tersebut.
Ataupun hadirnya milis-milis group pencinta buku atau novel di internet yang saling membahas tentang berbagai buku ataupun novel yang ada dipasaran memperlihatkan kepada kita mulai ada kesadaran diantara kita akan pentingnya kegiatan membaca.
Bibit-bibit pengarang baru pun kini mulai bertaburan di negeri tercinta ini baik dari anak-anak, artis, ataupun para pakar dibidangnya, hal ini pun ditunjang dengan lahirnya penerbit-penerbit buku yang bersedia menampung hasil karya para penulis muda maupun pemula.

Toko buku juga menjadi salah satu faktor penting yang bisa menyediakan tempat untuk menampung buku-buku yang telah terbit. Menjamurnya toko buku semakin diminati oleh masyarakat dan memudahkan kita untuk membeli buku-buku. Persaingan Diskon semakin menyemarakkan toko buku dalam menjaring pelanggan. Seringkali pula di suatu mall juga diadakan pesta buku –book fair- dengan bermacam-macam diskon.

Kini yang bisa kita harapkan, tumbuhnya kesadaran akan pentingnya membaca sehingga muncul sosok-sosok intelektual, cerdas, pantang menyerah dan menciptakan inovasi baru yang mampu mengangkat harkat dan martabat bangsa Indonesia de tengah kanca dunia.
Ayo Indonesia….bangkitlah….luangkan waktumu untuk membaca selama 30 menit guna menambah wawasan pengetahuanmu.
Ayo Indonesia….kita galakkan budaya membaca….dan hadirkan generasi-generasi yang berwawasan dan tidak berpikiran dangkal.
Ayo Indonesia….kamu pasti bisa!!!

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Aku agak terkejut juga, kalau minat bahasa penduduk Indonesia masih sangat serendah itu. Bukan sesuatu yang membanggakan ya.. Memang perlu dicari cara yang tepat untuk meningkatkan minat baca ini. Klub buku adalah salah satu sarana yang menarik. Saya suka sekali dengan klub-klub seperti ini. Sayangnya, masih banyak orang yang beranggapan kalau klub buku itu identik dengan orang-orang yang tidak gaul dan kutu buku. Mereka lebih tertarik dengan klub olahraga atau musik. Mungkin, kalau suatu hari nanti, posisi klub buku pindah menjadi klub yang mentereng dan dianggap trend, budaya membaca juga akan terdongkrak sedikit demi sedikit..

Posting Komentar